Rabu, 07 Desember 2011
C S R : Mimpi Buruk atau Mimpi Indah?
Bp. Eri Sudewo | Round Table Discussion AAI
Pertanyaan mimpi itu bagi siapa: masyarakat sekitar perusahaan, masyarakat umum, pemerintah atau perusahaan itu sendiri? Sesuai posisi, kebutuhan masing-masing pihak berbeda. Bagi masyarakat terutama pemetik manfaat, CSR jelas bermanfaat. Meski itu hanya sekadar bagi-bagi sembako. Bagi pemerintah apalagi. CSR untuk rakyat, bantu banyak hal bagi pemerintah. Pertama pemerintah bisa tepuk dada karena sukses paksa perusahaan ber-CSR ria. Kedua dengan CSR, pemerintah kecipratan dana lagi. Dan ketiga tanggung jawab atasi kemiskinan, melalui CSR dibantu swasta.
Bagi perusahaan, pro dan kontralah. Yang kontra jelas terbebani. Maka yang pro biasanya sedikit. Soal rakyat lebih-lebih yang miskin-miskin, tentu bukan urusan perusahaan. Itu urusan pemerintah. Karenanya perusahaan sudah setor pajak. Tapi terkadang perusahaan juga keras kepala. Dalam kondisi kemiskinan akut begini, tolak CSR tentu tak sedap. Seolah perusahaan hidup di belantara sendirian. Tanpa masyarakat, apakah perusahaan bisa hidup? Tanpa pembeli, bisakah perusahaan berkembang? Malah ada perusahaan migas yang berupaya masukan CSR sebagai cost recovery. Artinya ini sama dengan bebankan CSR di pundak pemerintah.
Maka saat draft RUU Perseroan Terbatas dibahas DPR Juli’07, dunia perusahaan ‘guncang’. Namun mustajab. Bargaining power pengusaha memang mujarab. Tak lebih dari dua hari, protes para pengusaha berbuah hasil. Pansus DPR keder hingga pasal kontroversi kewajiban CSR diubah. Revisinya, CSR wajib bagi perusahaan yang berkait dengan eksplorasi sumber daya alam dan pembuangan limbah. Protes pengusaha memang bagai ‘gayung bersambut’. Sebab dalam memandu CSR pemerintah sendiri tak satu kata. Departemen Hukum dan HAM ingin wajibkan CSR. Alasannya, itu sesuai usulan DPR. Namun Departemen Perindustrian justru menolak. Negara ini memang full anomali (terbalik-balik). Dephum & HAM yang harusnya dukung pengusaha karena sesuai azas kebebasan, malah wajibkan CSR. Sedang Departemen Perindustrian yang mustinya wajibkan, justru bebaskan tuntutan kewajiban.
CSR & Kemiskinan
Apa yang dikatakan Kanosuke Matsushita tak beda dengan apa yang dikatakan nabinya umat Islam ini. Malah Nabi Muhammad saw telah katakan 14 abad yang silam. Bedanya pendapat Kanosuke lebih dilandasi persoalan etika dan moral. Sedang larangan Nabi Muhammad saw bukan hanya soal etika moral, melainkan lebih substansial karena berkait dengan kepemilikan. Bahwa ada tiga konsep kepemilikan. Pertama kepemilikan negara. Kedua kepemilikan masyarakat. Dan ketiga kepemilikan pribadi.
Kepemilikan negara berkait dengan sumber daya alam, laut, hutan lindung nasional dan pulau misalnya. Jika mampu negara boleh mengelola untuk kepentingan rakyat. Jika tidak, bisa bekerja sama dengan berbagai pihak. Asal negara tetap kuat mengontrol yang ujung-ujungnya tetap untuk rakyat. Kepemilikan masyarakat seperti hutan adat, tanah adat, tanah bengkok dan jalan desa. Ini dijaga dan dikelola untuk kepentingan masyarakat. Sedang kepemilikan pribadi, inilah harta yang kita peroleh dengan tidak menyiasahi kepemilikan masyarakat dan negara.
Tapi konsep ekonomi yang berkembang tidak mengenal konsep kepemilikan demikian. Apalah arti himbauan etis moralis Kanosuke. Dengan paham liberalisme, tatanan jadi rusak. Apalagi globalisasi sudah merambah seluruh sektor. Inti globalisasi, peran pemerintah dipangkas dalam melindungi segenap warga dan asset negara. Semua diserahkan pada pasar. Karena pasar sudah bebas, maka free fight to competition tak bisa dicegah. Yang ironisnya bagi pemerintah, bahwa privatisasi identik dengan menjual saja. Untuk membeli, belum jadi tradisi privatisasi Indonesia.
Dengan globalisasi, yang tumbang sungguh-sungguh menjadi lebih miskin dan makin terjebak dalam kubangan utang. Dunia ketiga yang tadinya punya harapan, kini sontak sebagian besar set back. Maka pada 24 Agustus hingga 4 September 2002, digelar World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg – Afrika Selatan. Dari WSSD disepakati bahwa CSR harus dilakukan seluruh perusahaan di dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada pengentasan kemiskinan, penataan lingkungan hidup jadi lebih baik dan peningkatan perekonomian.
Sebagai resultasi dari kesepakatan WSSD, dibutuhkan three-sector partnership yakni kemitraan antara pemerintah – perusahaan dan masyarakat/LSM. Dengan CSR, perusahaan tak lagi hanya berpijak pada single bottom line. Yakni hanya konsen pada kondisi keuangan saja. Dengan CSR, perusahaan harus mengembangkan triple bottom line. Tak cuma fokus di keuangan melulu, melainkan juga musti berkirah di kegiatan sosial dan penataan lingkungan. Laba dan ekonomi tak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan harus berpikir dan bertindak guna tingkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar industrinya juga.
Ini pun ditegaskan oleh Forum Ekonomi Dunia. Melalui Global Governance Initiative, digelar World Business Council for Sustainability Development di New York pada 2005. Salah satu deklarasi penting, disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk bantu PBB realisasikan Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama MDGs mengurangi separoh kemiskinan dan kelaparan di tahun 2015. Patut dicatat, tujuan ini jelas mahaberat. Sebab seiring pertumbuhan dunia bisnis, mengapa kemiskinan toh malah bertambah masal dan makin akut.
Human Development Report 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau 2,5 milyar jiwa, hidup dengan upah di bawah US$ 2/hari/kapita. Total upah itu nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia. Setiap hari, 1.200 anak-anak mati karena kelaparan. HDR pun mensinyalir, 10% orang terkaya dunia menguasai 54% total pendapatan dunia. Yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk termiskin.
Untuk kikis kemiskinan, tawaran HDR tak muluk. Melepas 1 milyar orang yang dibalut kemiskinan absolut, dibutuhkan dana US$ 3 milyar. Jumlah itu nilainya tak lebih dari 1,6% pendapatan 10% orang terkaya dunia. Cuma pendapatan, bukan kekayaan dan aset mereka yang kaya-kaya itu. Peanut bukan. Sayangnya HDR cuma mengetuk moral dan kebaikan nurani, sekadar himbauan kedermawanan dan kerelaan. Maka alih-alih tergerus, retasan kemiskinan kini terus membiakkan kemelaratan di belahan manapun jadi lebih kelam dan akut.
CSR atau CSA?
Istilah CSR, pertama kali mengemuka dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. Konsep yang digagas Howard Rothmann Bowen ini menjawab ‘keresahan’ dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadop, karena bisa jadi penawar kesan buruk pengusaha yang terlanjur tertuduh sebagai pemburu uang yang tak peduli pada dampak pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati bersahaja, istilah CSR amat marketable karena nuansa heroiknya. Melalui CSR, pengusaha tak lagi perlu diusik ‘perasaan bersalah’. Tak lagi harus tersedak atas keping kemiskinan karena ulah bisnis langsung ataupun tidak. Maka atas jasanya, Howard pun dianugerahi sebagai ‘Bapak CSR’.
Dalam implementasinya ternyata ada beberapa hal layak kritisi. Pertama wujud CSR sebagian cuma santunan karitatif. Padahal tuntutan responsibility tidaklah sesederhana karitatif. Responsibility yang arti harfiahnya tanggung jawab, konotasinya justru wajib. Tanggung jawab muncul, pasti sebelumnya ada apa-apa. Rakyat tergusur, pasti ada yang nggusur. Warung-warung kecil tutup, banyak yang sepakat karena buruk menajemen. Jangankan menyusun, istilah cash flow saja tak paham. Tetapi juga pasti ada soal di luar faktor internal. Dalam menanganinya, tentu beda antara tanggung jawab dan sekadar kegiatan sosial.
Sayang perbedaan ini justru luput. Seolah CSR cukup hanya dengan sisihkan sedikit kepedulian. Bagi-bagi sembako, layanan kesehatan sebulan sekali atau penataan lingkungan agar tak kumuh, Ini contoh aktivitas sosial biasa. Justru itulah yang tak etis. Kegiatannya cuma karitatif tapi yel-yelnya ngotot digelegar sebagai CSR. Lagaknya ingin berjasa besar dalam kepedulian, namun kegiatannya tak merubah apapun. Santunan sosial begitu bukan CSR, melainkan Corporate Social Activity (CSA). Maka istilah responsibility harus diganti activity. Dari Corporate Social Responsibility jadi Corporate Social Activity.
Kedua, 22 asosiasi yang menolak kewajiban CSR, kebanyakan merasa tak punya soal dengan kerusakan lingkungan. Memang, harfiahnya lingkungan tak dirusak. Namun mustahilkah jika ada sebagian anggota asosiasi yang perilaku bisnisnya tak kalah buruk dengan perusak lingkungan. Bukan isapan jempol, kiprah waralaba minimarket misalnya, telah hancurkan sekian kali lipat warung-warung rakyat. Kalkulasi remuknya kapitalisasi ekonomi bagai efek kartu domino. Sebab warung-warung rakyat terima titipan kue dan lontong tetangga. Tumbangnya warung-warung rakyat, itulah pemadam rangkaian ekonomi subsisten di gang-gang sempit. Fenomena lain, saat tanggal tua ngutang ke warung. Usai gajian, belanja ke minimarket. Saat susah dan lapar ditolong warung, saat punya uang gizinya dipasok minimarket. Warung siapa yang bertahan dengan sistem pemiskinan ini: antara kebijakan pemerintah – kiprah bisnis – dan sikap masyarakat telah berpadu sempurna.
Perubahan lahan jadi real estate, contoh lain, sebagian merupakan penggalan kisah yang selalu temaram bagi warga. Bukan hanya dikerjai makelar tanah dan aparat, mereka pun harus bedol desa. Artinya juga bukan hanya boyong segalanya, karena pekerjaan dan akses usaha pun musti rela dilepas. Siapkah jika pengusaha harus hengkang dari ranah bisnisnya seperti rakyat yang leluasa digusur-gusur? Lantas warga yang mendadak miskin karena kalah segalanya, etiskah hanya disantuni model karitatif? Inikah heroisme responsibility yang diusung-usung? Minimarket dan real estate tidak merusak lingkungan. Tetapi ekonomi rakyat bertumbangan dari hari ke hari.
Ketiga ini juga yang ironi. Jangan-jangan ada anggota asosiasi yang hidupnya selamat berkat BLBI. Jika benar alangkah tragisnya. Mereka selamat oleh government Social Responsibility (GSR) tapi terusik saat diminta sisihkan laba. Mereka marah dan lantang berteriak karena CSR, tapi lupa saat sekarat diselamatkan GSR. Mereka hanya sekadar salurkan sembako, tapi amboi biaya promosinya melebihi bantuan. Kegiatannya cuma CSA, tapi tak risih katakan itu CSR. Negara yang menolong sekarang minta bantuan, tapi mereka tohok bahkan sambil terbahak berkata: â€Å"Pemerintah selalu tak becus urus negaraâ€Â. Jika mereka hidup di zaman Soekarno, pasti mereka sudah dicap dan diadili sebagai pengkhianat bangsa.
Pebisnis yang merusak lingkungan juga setali tiga uang. Mereka sepakat bisa terima CSR sebagai kewajiban. Tapi tetap ada syaratnya. CSR boleh wajib, asal masuk dalam cost recovery. Artinya CSR dibebankan pada pemerintah. Kendati untung tambang bergunung-gunung, sebagian tetap tak rela CSR diambil dari laba. Persis saat dulu butuh BLBI, untuk CSR pun mereka mengadu ke Wapres RI. Sementara orang miskin yang hidupnya remuk, mengadu pada siapa? Mengenal orang miskin, ujung-ujungnya memang rogoh kocek. Tapi mengenal SBY dan JK bukan hanya itu politik, tapi akhirnya berbagai akses kemudahan diperoleh: ya order, proyek, izin usaha dan konsensi
Dari Kontroversi ke Kiprah
Mimpi buruk atau indah, pertama-tama memang kembali kepada sudut pandang. Jika landasannya ego, CSR tegas terpasung sebagai mimpi buruk. Bila dengan kejernihan CSR jelas mimpi indah. CSR tidak akan membebankan karena pasti disisihkan dari laba. Bukan omset atau asset perusahaan. Artinya hanya kurangi laba, rugipun tidak. Dengan CSR, sesungguhnya perusahaan tengah menyatakan sosok sesungguhnya siapa dirinya. Tanpa CSR pun, perusahaan bisa hidup. Dengan CSR harusnya perusahaan lebih dapat memantik simpatik masyarakat. Dengan simpatik masyarakat, otomatis dampak pada omset dan laba perusahaan akan meruah-ruah.
Di Indonesia, sesungguhnya perusahaan dapat hidup amat leluasa. Meski ketidakpastian adalah ciri kepastian pemerintah. Bisa karena regulasi yang berubah-ubah, bisa juga karena aparatnya justru tak paham regulasi. Atau bisa karena antara regulasi dan praktek tidak sinkron.
Ketidakpastian adalah soal serius. Tapi bagi entrepreneur di balik ketidakpastian, itulah peluang. Sebagian pengusaha pasti paham istilah-istilah negatif sebagai cermin ketidakpuasan masyarakat atas ambur adulnya penataan kenegaraan. Dengan UUD (Ujung-Ujungnya Duit) ketidakpastian berubah jadi pasti. Atau dekati dengan metode JAKSA (Jika akan kalah Suap Aja). Lobby pun sempurna dengan libatkan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang). Jangan lupakan pula POLISI (Perkara Orang Lain Itu Sumber Income). Jika tidak, pengusaha akan jadi sapi perah berbagai pihak.
Keleluasaan lain bagi perusahaan, di Indonesia pasar yang terbentuk adalah stupid market. Teori marketing bahwa pembeli adalah raja, tak berlaku di negeri zamrud khatulistiwa ini. Jika pembeli raja, produsen dan pedagang akan mengikuti kehendak pembeli. Contohnya ada perusahaan yang selalu minta maaf. Perusahaan apa ini? Itulah perusahaan penerbangan. Setiap hari dari awal terbang hingga tutup terbang, terus minta maaf kepada penumpang karena keterlambatan. Alih-alih menuntut, penumpang tidak bisa apa-apa. Bukan hanya mengalah, penumpang harus siasah diri tidak mepet waktunya tapi terbang jauh-jauh jam.
Bahkan rumor berkembang, kecelakaan pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpang dan awak kapal, sampai hari ini belum tuntas klaim pembayarannya. Penggusuran tanah untuk jalan tol seperti ruas BSD – Veteran Jakarta, hingga hari ini tak juga tuntas. Perkara sertifikat ganda, menyulitkan banyak pemilik rumah yang sah. Dalam banyak perkara, nyaris seluruh perusahaan diuntungkan. Masyarakat sebagai pembeli tak bisa apa-apa.
Contoh lain, pengendara sepeda motor terjatuh karena jalan berlubang, tak paham punya hak untuk menuntut. Bila paham, menuntut pada siapa. Beberapa hari yang lalu, angin kencang yang melanda sebagian Jakarta, merubuhkan papan reklame raksasa di Lebak Bulus Jakarta Selatan. Papan itu menghantam dua kendaraan. Lantas pahamkah pemilik kendaraan punya hak menuntut. Jika paham, tuntutan diarahkan pada Pemda DKI Jaya atau pada perusahaan yang beriklan itu.
Stupid market bisa terjadi karena banyak faktor. Lepas dari faktor-faktor itu, pihak mana yang paling diuntungkan? Stupid market jelas hanya untungkan perusahaan. Maka dengan untung yang berlipat-lipat, beratkah mengeluarkan CSR sekian persen dari keuntungan? Harusnya tidak. CSR tidak akan menghancurkan perusahaan. CSR bukan mimpi buruk. CSR jadi jembatan perusahaan untuk bisa lebih diterima dengan hati. Via CSR pastikan masyarakat yang menggenggam produk, bisa pakai dengan helaan nafas afdol. Dengan CSR mimpi indah perusahaan adalah membentuk barisan pendukung untuk kelestarian perusahaan itu sendiri.
Saatnya tinggalkan ego. Saatnya buang keserakahan. CSR jadi pemandu. Dengan berbagi, dukungan pun akan mengalir mungkin jauh lebih besar ketimbang yang dikeluarkan oleh perusahaan. Karena CSR yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan berbuah jadi ‘pagar sempurna’ perusahaan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Satu orang mencuri, itu maling. 10 orang mencuri, rampok namanya. 100 orang mencuri, siapa sangka itulah Bom Sosial. Ingat angka kemiskinan Indonesia capai 37 juta (BPS). World Bank katakan sudah 120 juta orang. Bukankah ini berbahaya bagi perusahaan.
Perusahaan Body Shop jadi contoh perusahaan yang sedari awal sudah didisain melibatkan petani jadi pemasok bahan. Perusahaan yang berdiri tahun 1976 di Inggris ini, mungkin awalnya tak paham apa itu CSR. Tapi kiprah perusahaan yang dimulai dari garasi ini, jelas telah menjalankan CSR dengan kesadaran penuh. Ada beberapa manfaat dengan CSR Body Shop Way ini. Pertama dengan libatkan petani, skill up petani berkembang. Kedua pendapat ekonomi meningkat. Ketiga lapangan kerja tumbuh. Keempat kegiatan sosial jadi imbas otomatis. Kelima lingkungan pun tertata. Dan akhirnya keenam, Body Shop merebut simpati masyarakat dengan CSR-nya.
Di Indonesia, kontroversi CSR berangsur-angsur ditanggalkan. BUMN dengan program PKBL-nya sudah lama sisihkan dana 5% untuk UKM (Usaha Kecil Menengah). Meski belum merambah UMK (Usaha Mikro Kecil), tindakan itu patut disokong. Dengan perbaikan, PKBL akan jadi program yang mendongkrak ekonomi, penciptaan lapangan kerja serta peningkatan profesionalisme. Pertamina sudah berkiprah. Elnusa dengan sejumlah kegiatan CSR-nya, telah berhasil kembangkan rumah anti gempa di Yogya. Tak ketinggalan PN Gas, PLN, PT Antam dll.
Perusahaan swasta juga tak kalah gencar. Seperti Sampoerna malah telah mendirikan Sampoerna Foundation yang berkiprah di pendidikan. Sementara Sampoerna Tbk sendiri tetap menjalankan CSR-nya melalui berbagai kegiatan. Unilever juga. Astra juga telah lama berkiprah. PT Riau Pulp yang sukses mengembangkan CSR, pada September 2007 di Vietnam mendapat Exellency Poverty Alleviation Award dari Forum CSR Asia. Ini sebagian kecil contoh yang layak mendapat dukungan. Sebab perhatikan kata-kata di bawah ini:
Maka CSR harus ditingkatkan derajatnya. Bukan lagi sekadar bantu membantu. Tapi jadikan sebagai program aliansi strategis bagi penganggulangan keterpurukan bangsa. Antara masyarakat, antara pegiat sosial, antara perusahaan dan negara. Saatnya singsingkan lengan baju. Saatnya berjabata tangan. Dengan CSR, saatnya kita tolah pendapat Robert Bowning yang dikutip Budi Arjono (Kontan 25 Maret’07): ‘manusia cenderung cari keuntungan sendiri atas biaya seluruh dunia’.
Kegiatan CSR kini makin marak. Tinggal tahapannya terus ditingkatkan. Sebab inti CSR sesungguhnya bukan terletak pada kiprah kegiatan CSR-nya. Intinya terletak pada etika bisnis yang dijalankan perusahaan. Jika perusahaan tidak merugikan pihak lain, terutama rakyat yang tidak memiliki bargaining position, itulah inti CSR. Dengan tidak merugaikan, CSR telah melekat jadi jiwa. Tidak akan yang tumbang oleh ekspansi bisnis perusahaan.
Kita bisa contoh apa yang dilakukan Malaysia. Kabarnya jika tanah petani dibangun lahan bisnis, petani dilindungi dengan kepemilikan saham. Artinya petani mendapat uang pembelian tanah, ditambah saham yang bagi hasilnya sesuai perkembangan bisnis tersebut. Laba bisnis yang meruah-ruah, tak hanya dinikmati oleh pemilik perusahaan saja. Ada pemilik lama, yang karena tak punya kekuatan terpaksa harus menjual tanahnya. Inilah esensi CSR. Lantas, bisakah ini ditiru di Indonesia? Semoga.Type your summary here
Disampaikan oleh Bp. Eri Sudewo
dalam Round Table Discussion AAI
Pertanyaan mimpi itu bagi siapa: masyarakat sekitar perusahaan, masyarakat umum, pemerintah atau perusahaan itu sendiri? Sesuai posisi, kebutuhan masing-masing pihak berbeda. Bagi masyarakat terutama pemetik manfaat, CSR jelas bermanfaat. Meski itu hanya sekadar bagi-bagi sembako. Bagi pemerintah apalagi. CSR untuk rakyat, bantu banyak hal bagi pemerintah. Pertama pemerintah bisa tepuk dada karena sukses paksa perusahaan ber-CSR ria. Kedua dengan CSR, pemerintah kecipratan dana lagi. Dan ketiga tanggung jawab atasi kemiskinan, melalui CSR dibantu swasta.
Bagi perusahaan, pro dan kontralah. Yang kontra jelas terbebani. Maka yang pro biasanya sedikit. Soal rakyat lebih-lebih yang miskin-miskin, tentu bukan urusan perusahaan. Itu urusan pemerintah. Karenanya perusahaan sudah setor pajak. Tapi terkadang perusahaan juga keras kepala. Dalam kondisi kemiskinan akut begini, tolak CSR tentu tak sedap. Seolah perusahaan hidup di belantara sendirian. Tanpa masyarakat, apakah perusahaan bisa hidup? Tanpa pembeli, bisakah perusahaan berkembang? Malah ada perusahaan migas yang berupaya masukan CSR sebagai cost recovery. Artinya ini sama dengan bebankan CSR di pundak pemerintah.
Maka saat draft RUU Perseroan Terbatas dibahas DPR Juli’07, dunia perusahaan ‘guncang’. Namun mustajab. Bargaining power pengusaha memang mujarab. Tak lebih dari dua hari, protes para pengusaha berbuah hasil. Pansus DPR keder hingga pasal kontroversi kewajiban CSR diubah. Revisinya, CSR wajib bagi perusahaan yang berkait dengan eksplorasi sumber daya alam dan pembuangan limbah. Protes pengusaha memang bagai ‘gayung bersambut’. Sebab dalam memandu CSR pemerintah sendiri tak satu kata. Departemen Hukum dan HAM ingin wajibkan CSR. Alasannya, itu sesuai usulan DPR. Namun Departemen Perindustrian justru menolak. Negara ini memang full anomali (terbalik-balik). Dephum & HAM yang harusnya dukung pengusaha karena sesuai azas kebebasan, malah wajibkan CSR. Sedang Departemen Perindustrian yang mustinya wajibkan, justru bebaskan tuntutan kewajiban.
CSR & Kemiskinan
Apa yang dikatakan Kanosuke Matsushita tak beda dengan apa yang dikatakan nabinya umat Islam ini. Malah Nabi Muhammad saw telah katakan 14 abad yang silam. Bedanya pendapat Kanosuke lebih dilandasi persoalan etika dan moral. Sedang larangan Nabi Muhammad saw bukan hanya soal etika moral, melainkan lebih substansial karena berkait dengan kepemilikan. Bahwa ada tiga konsep kepemilikan. Pertama kepemilikan negara. Kedua kepemilikan masyarakat. Dan ketiga kepemilikan pribadi.
Kepemilikan negara berkait dengan sumber daya alam, laut, hutan lindung nasional dan pulau misalnya. Jika mampu negara boleh mengelola untuk kepentingan rakyat. Jika tidak, bisa bekerja sama dengan berbagai pihak. Asal negara tetap kuat mengontrol yang ujung-ujungnya tetap untuk rakyat. Kepemilikan masyarakat seperti hutan adat, tanah adat, tanah bengkok dan jalan desa. Ini dijaga dan dikelola untuk kepentingan masyarakat. Sedang kepemilikan pribadi, inilah harta yang kita peroleh dengan tidak menyiasahi kepemilikan masyarakat dan negara.
Tapi konsep ekonomi yang berkembang tidak mengenal konsep kepemilikan demikian. Apalah arti himbauan etis moralis Kanosuke. Dengan paham liberalisme, tatanan jadi rusak. Apalagi globalisasi sudah merambah seluruh sektor. Inti globalisasi, peran pemerintah dipangkas dalam melindungi segenap warga dan asset negara. Semua diserahkan pada pasar. Karena pasar sudah bebas, maka free fight to competition tak bisa dicegah. Yang ironisnya bagi pemerintah, bahwa privatisasi identik dengan menjual saja. Untuk membeli, belum jadi tradisi privatisasi Indonesia.
Dengan globalisasi, yang tumbang sungguh-sungguh menjadi lebih miskin dan makin terjebak dalam kubangan utang. Dunia ketiga yang tadinya punya harapan, kini sontak sebagian besar set back. Maka pada 24 Agustus hingga 4 September 2002, digelar World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg – Afrika Selatan. Dari WSSD disepakati bahwa CSR harus dilakukan seluruh perusahaan di dunia dalam rangka terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Intinya terfokus pada pengentasan kemiskinan, penataan lingkungan hidup jadi lebih baik dan peningkatan perekonomian.
Sebagai resultasi dari kesepakatan WSSD, dibutuhkan three-sector partnership yakni kemitraan antara pemerintah – perusahaan dan masyarakat/LSM. Dengan CSR, perusahaan tak lagi hanya berpijak pada single bottom line. Yakni hanya konsen pada kondisi keuangan saja. Dengan CSR, perusahaan harus mengembangkan triple bottom line. Tak cuma fokus di keuangan melulu, melainkan juga musti berkirah di kegiatan sosial dan penataan lingkungan. Laba dan ekonomi tak sebatas untuk perusahaan dan karyawannya. Perusahaan harus berpikir dan bertindak guna tingkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar industrinya juga.
Ini pun ditegaskan oleh Forum Ekonomi Dunia. Melalui Global Governance Initiative, digelar World Business Council for Sustainability Development di New York pada 2005. Salah satu deklarasi penting, disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk bantu PBB realisasikan Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama MDGs mengurangi separoh kemiskinan dan kelaparan di tahun 2015. Patut dicatat, tujuan ini jelas mahaberat. Sebab seiring pertumbuhan dunia bisnis, mengapa kemiskinan toh malah bertambah masal dan makin akut.
Human Development Report 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau 2,5 milyar jiwa, hidup dengan upah di bawah US$ 2/hari/kapita. Total upah itu nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia. Setiap hari, 1.200 anak-anak mati karena kelaparan. HDR pun mensinyalir, 10% orang terkaya dunia menguasai 54% total pendapatan dunia. Yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk termiskin.
Untuk kikis kemiskinan, tawaran HDR tak muluk. Melepas 1 milyar orang yang dibalut kemiskinan absolut, dibutuhkan dana US$ 3 milyar. Jumlah itu nilainya tak lebih dari 1,6% pendapatan 10% orang terkaya dunia. Cuma pendapatan, bukan kekayaan dan aset mereka yang kaya-kaya itu. Peanut bukan. Sayangnya HDR cuma mengetuk moral dan kebaikan nurani, sekadar himbauan kedermawanan dan kerelaan. Maka alih-alih tergerus, retasan kemiskinan kini terus membiakkan kemelaratan di belahan manapun jadi lebih kelam dan akut.
CSR atau CSA?
Istilah CSR, pertama kali mengemuka dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. Konsep yang digagas Howard Rothmann Bowen ini menjawab ‘keresahan’ dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadop, karena bisa jadi penawar kesan buruk pengusaha yang terlanjur tertuduh sebagai pemburu uang yang tak peduli pada dampak pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati bersahaja, istilah CSR amat marketable karena nuansa heroiknya. Melalui CSR, pengusaha tak lagi perlu diusik ‘perasaan bersalah’. Tak lagi harus tersedak atas keping kemiskinan karena ulah bisnis langsung ataupun tidak. Maka atas jasanya, Howard pun dianugerahi sebagai ‘Bapak CSR’.
Dalam implementasinya ternyata ada beberapa hal layak kritisi. Pertama wujud CSR sebagian cuma santunan karitatif. Padahal tuntutan responsibility tidaklah sesederhana karitatif. Responsibility yang arti harfiahnya tanggung jawab, konotasinya justru wajib. Tanggung jawab muncul, pasti sebelumnya ada apa-apa. Rakyat tergusur, pasti ada yang nggusur. Warung-warung kecil tutup, banyak yang sepakat karena buruk menajemen. Jangankan menyusun, istilah cash flow saja tak paham. Tetapi juga pasti ada soal di luar faktor internal. Dalam menanganinya, tentu beda antara tanggung jawab dan sekadar kegiatan sosial.
Sayang perbedaan ini justru luput. Seolah CSR cukup hanya dengan sisihkan sedikit kepedulian. Bagi-bagi sembako, layanan kesehatan sebulan sekali atau penataan lingkungan agar tak kumuh, Ini contoh aktivitas sosial biasa. Justru itulah yang tak etis. Kegiatannya cuma karitatif tapi yel-yelnya ngotot digelegar sebagai CSR. Lagaknya ingin berjasa besar dalam kepedulian, namun kegiatannya tak merubah apapun. Santunan sosial begitu bukan CSR, melainkan Corporate Social Activity (CSA). Maka istilah responsibility harus diganti activity. Dari Corporate Social Responsibility jadi Corporate Social Activity.
Kedua, 22 asosiasi yang menolak kewajiban CSR, kebanyakan merasa tak punya soal dengan kerusakan lingkungan. Memang, harfiahnya lingkungan tak dirusak. Namun mustahilkah jika ada sebagian anggota asosiasi yang perilaku bisnisnya tak kalah buruk dengan perusak lingkungan. Bukan isapan jempol, kiprah waralaba minimarket misalnya, telah hancurkan sekian kali lipat warung-warung rakyat. Kalkulasi remuknya kapitalisasi ekonomi bagai efek kartu domino. Sebab warung-warung rakyat terima titipan kue dan lontong tetangga. Tumbangnya warung-warung rakyat, itulah pemadam rangkaian ekonomi subsisten di gang-gang sempit. Fenomena lain, saat tanggal tua ngutang ke warung. Usai gajian, belanja ke minimarket. Saat susah dan lapar ditolong warung, saat punya uang gizinya dipasok minimarket. Warung siapa yang bertahan dengan sistem pemiskinan ini: antara kebijakan pemerintah – kiprah bisnis – dan sikap masyarakat telah berpadu sempurna.
Perubahan lahan jadi real estate, contoh lain, sebagian merupakan penggalan kisah yang selalu temaram bagi warga. Bukan hanya dikerjai makelar tanah dan aparat, mereka pun harus bedol desa. Artinya juga bukan hanya boyong segalanya, karena pekerjaan dan akses usaha pun musti rela dilepas. Siapkah jika pengusaha harus hengkang dari ranah bisnisnya seperti rakyat yang leluasa digusur-gusur? Lantas warga yang mendadak miskin karena kalah segalanya, etiskah hanya disantuni model karitatif? Inikah heroisme responsibility yang diusung-usung? Minimarket dan real estate tidak merusak lingkungan. Tetapi ekonomi rakyat bertumbangan dari hari ke hari.
Ketiga ini juga yang ironi. Jangan-jangan ada anggota asosiasi yang hidupnya selamat berkat BLBI. Jika benar alangkah tragisnya. Mereka selamat oleh government Social Responsibility (GSR) tapi terusik saat diminta sisihkan laba. Mereka marah dan lantang berteriak karena CSR, tapi lupa saat sekarat diselamatkan GSR. Mereka hanya sekadar salurkan sembako, tapi amboi biaya promosinya melebihi bantuan. Kegiatannya cuma CSA, tapi tak risih katakan itu CSR. Negara yang menolong sekarang minta bantuan, tapi mereka tohok bahkan sambil terbahak berkata: â€Å"Pemerintah selalu tak becus urus negaraâ€Â. Jika mereka hidup di zaman Soekarno, pasti mereka sudah dicap dan diadili sebagai pengkhianat bangsa.
Pebisnis yang merusak lingkungan juga setali tiga uang. Mereka sepakat bisa terima CSR sebagai kewajiban. Tapi tetap ada syaratnya. CSR boleh wajib, asal masuk dalam cost recovery. Artinya CSR dibebankan pada pemerintah. Kendati untung tambang bergunung-gunung, sebagian tetap tak rela CSR diambil dari laba. Persis saat dulu butuh BLBI, untuk CSR pun mereka mengadu ke Wapres RI. Sementara orang miskin yang hidupnya remuk, mengadu pada siapa? Mengenal orang miskin, ujung-ujungnya memang rogoh kocek. Tapi mengenal SBY dan JK bukan hanya itu politik, tapi akhirnya berbagai akses kemudahan diperoleh: ya order, proyek, izin usaha dan konsensi
Dari Kontroversi ke Kiprah
Mimpi buruk atau indah, pertama-tama memang kembali kepada sudut pandang. Jika landasannya ego, CSR tegas terpasung sebagai mimpi buruk. Bila dengan kejernihan CSR jelas mimpi indah. CSR tidak akan membebankan karena pasti disisihkan dari laba. Bukan omset atau asset perusahaan. Artinya hanya kurangi laba, rugipun tidak. Dengan CSR, sesungguhnya perusahaan tengah menyatakan sosok sesungguhnya siapa dirinya. Tanpa CSR pun, perusahaan bisa hidup. Dengan CSR harusnya perusahaan lebih dapat memantik simpatik masyarakat. Dengan simpatik masyarakat, otomatis dampak pada omset dan laba perusahaan akan meruah-ruah.
Di Indonesia, sesungguhnya perusahaan dapat hidup amat leluasa. Meski ketidakpastian adalah ciri kepastian pemerintah. Bisa karena regulasi yang berubah-ubah, bisa juga karena aparatnya justru tak paham regulasi. Atau bisa karena antara regulasi dan praktek tidak sinkron.
Ketidakpastian adalah soal serius. Tapi bagi entrepreneur di balik ketidakpastian, itulah peluang. Sebagian pengusaha pasti paham istilah-istilah negatif sebagai cermin ketidakpuasan masyarakat atas ambur adulnya penataan kenegaraan. Dengan UUD (Ujung-Ujungnya Duit) ketidakpastian berubah jadi pasti. Atau dekati dengan metode JAKSA (Jika akan kalah Suap Aja). Lobby pun sempurna dengan libatkan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang). Jangan lupakan pula POLISI (Perkara Orang Lain Itu Sumber Income). Jika tidak, pengusaha akan jadi sapi perah berbagai pihak.
Keleluasaan lain bagi perusahaan, di Indonesia pasar yang terbentuk adalah stupid market. Teori marketing bahwa pembeli adalah raja, tak berlaku di negeri zamrud khatulistiwa ini. Jika pembeli raja, produsen dan pedagang akan mengikuti kehendak pembeli. Contohnya ada perusahaan yang selalu minta maaf. Perusahaan apa ini? Itulah perusahaan penerbangan. Setiap hari dari awal terbang hingga tutup terbang, terus minta maaf kepada penumpang karena keterlambatan. Alih-alih menuntut, penumpang tidak bisa apa-apa. Bukan hanya mengalah, penumpang harus siasah diri tidak mepet waktunya tapi terbang jauh-jauh jam.
Bahkan rumor berkembang, kecelakaan pesawat Adam Air yang menewaskan seluruh penumpang dan awak kapal, sampai hari ini belum tuntas klaim pembayarannya. Penggusuran tanah untuk jalan tol seperti ruas BSD – Veteran Jakarta, hingga hari ini tak juga tuntas. Perkara sertifikat ganda, menyulitkan banyak pemilik rumah yang sah. Dalam banyak perkara, nyaris seluruh perusahaan diuntungkan. Masyarakat sebagai pembeli tak bisa apa-apa.
Contoh lain, pengendara sepeda motor terjatuh karena jalan berlubang, tak paham punya hak untuk menuntut. Bila paham, menuntut pada siapa. Beberapa hari yang lalu, angin kencang yang melanda sebagian Jakarta, merubuhkan papan reklame raksasa di Lebak Bulus Jakarta Selatan. Papan itu menghantam dua kendaraan. Lantas pahamkah pemilik kendaraan punya hak menuntut. Jika paham, tuntutan diarahkan pada Pemda DKI Jaya atau pada perusahaan yang beriklan itu.
Stupid market bisa terjadi karena banyak faktor. Lepas dari faktor-faktor itu, pihak mana yang paling diuntungkan? Stupid market jelas hanya untungkan perusahaan. Maka dengan untung yang berlipat-lipat, beratkah mengeluarkan CSR sekian persen dari keuntungan? Harusnya tidak. CSR tidak akan menghancurkan perusahaan. CSR bukan mimpi buruk. CSR jadi jembatan perusahaan untuk bisa lebih diterima dengan hati. Via CSR pastikan masyarakat yang menggenggam produk, bisa pakai dengan helaan nafas afdol. Dengan CSR mimpi indah perusahaan adalah membentuk barisan pendukung untuk kelestarian perusahaan itu sendiri.
Saatnya tinggalkan ego. Saatnya buang keserakahan. CSR jadi pemandu. Dengan berbagi, dukungan pun akan mengalir mungkin jauh lebih besar ketimbang yang dikeluarkan oleh perusahaan. Karena CSR yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, akan berbuah jadi ‘pagar sempurna’ perusahaan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Satu orang mencuri, itu maling. 10 orang mencuri, rampok namanya. 100 orang mencuri, siapa sangka itulah Bom Sosial. Ingat angka kemiskinan Indonesia capai 37 juta (BPS). World Bank katakan sudah 120 juta orang. Bukankah ini berbahaya bagi perusahaan.
Perusahaan Body Shop jadi contoh perusahaan yang sedari awal sudah didisain melibatkan petani jadi pemasok bahan. Perusahaan yang berdiri tahun 1976 di Inggris ini, mungkin awalnya tak paham apa itu CSR. Tapi kiprah perusahaan yang dimulai dari garasi ini, jelas telah menjalankan CSR dengan kesadaran penuh. Ada beberapa manfaat dengan CSR Body Shop Way ini. Pertama dengan libatkan petani, skill up petani berkembang. Kedua pendapat ekonomi meningkat. Ketiga lapangan kerja tumbuh. Keempat kegiatan sosial jadi imbas otomatis. Kelima lingkungan pun tertata. Dan akhirnya keenam, Body Shop merebut simpati masyarakat dengan CSR-nya.
Di Indonesia, kontroversi CSR berangsur-angsur ditanggalkan. BUMN dengan program PKBL-nya sudah lama sisihkan dana 5% untuk UKM (Usaha Kecil Menengah). Meski belum merambah UMK (Usaha Mikro Kecil), tindakan itu patut disokong. Dengan perbaikan, PKBL akan jadi program yang mendongkrak ekonomi, penciptaan lapangan kerja serta peningkatan profesionalisme. Pertamina sudah berkiprah. Elnusa dengan sejumlah kegiatan CSR-nya, telah berhasil kembangkan rumah anti gempa di Yogya. Tak ketinggalan PN Gas, PLN, PT Antam dll.
Perusahaan swasta juga tak kalah gencar. Seperti Sampoerna malah telah mendirikan Sampoerna Foundation yang berkiprah di pendidikan. Sementara Sampoerna Tbk sendiri tetap menjalankan CSR-nya melalui berbagai kegiatan. Unilever juga. Astra juga telah lama berkiprah. PT Riau Pulp yang sukses mengembangkan CSR, pada September 2007 di Vietnam mendapat Exellency Poverty Alleviation Award dari Forum CSR Asia. Ini sebagian kecil contoh yang layak mendapat dukungan. Sebab perhatikan kata-kata di bawah ini:
Maka CSR harus ditingkatkan derajatnya. Bukan lagi sekadar bantu membantu. Tapi jadikan sebagai program aliansi strategis bagi penganggulangan keterpurukan bangsa. Antara masyarakat, antara pegiat sosial, antara perusahaan dan negara. Saatnya singsingkan lengan baju. Saatnya berjabata tangan. Dengan CSR, saatnya kita tolah pendapat Robert Bowning yang dikutip Budi Arjono (Kontan 25 Maret’07): ‘manusia cenderung cari keuntungan sendiri atas biaya seluruh dunia’.
Kegiatan CSR kini makin marak. Tinggal tahapannya terus ditingkatkan. Sebab inti CSR sesungguhnya bukan terletak pada kiprah kegiatan CSR-nya. Intinya terletak pada etika bisnis yang dijalankan perusahaan. Jika perusahaan tidak merugikan pihak lain, terutama rakyat yang tidak memiliki bargaining position, itulah inti CSR. Dengan tidak merugaikan, CSR telah melekat jadi jiwa. Tidak akan yang tumbang oleh ekspansi bisnis perusahaan.
Kita bisa contoh apa yang dilakukan Malaysia. Kabarnya jika tanah petani dibangun lahan bisnis, petani dilindungi dengan kepemilikan saham. Artinya petani mendapat uang pembelian tanah, ditambah saham yang bagi hasilnya sesuai perkembangan bisnis tersebut. Laba bisnis yang meruah-ruah, tak hanya dinikmati oleh pemilik perusahaan saja. Ada pemilik lama, yang karena tak punya kekuatan terpaksa harus menjual tanahnya. Inilah esensi CSR. Lantas, bisakah ini ditiru di Indonesia? Semoga.Type your summary here
Disampaikan oleh Bp. Eri Sudewo
dalam Round Table Discussion AAI
0 komentar:
Posting Komentar