Pilih
Pidana Pajak atau skp?
Ketika penulis mengikuti Pendidikan
Penyidik PNS Pajak di Pusdik Resintel Polri, seorang perwira polisi yang
menjadi instruktur agak terheran-heran dengan jawaban peserta yang berpendapat
bahwa proses penyidikan dapat dihentikan jika Wajib Pajak telah membayar pajak
terutang ditambah sanksi. Padahal bagi tindak pidana korupsi, misalnya, proses
penyidikan harus tetap berlanjut sampai pengadilan walaupun tersangka telah
mengembalikan uang yang dicuri. Ingat Buloggate tahun lalu yang menghebohkan
negeri ini. Walaupun sang pelaku telah mengembalikan uang yang diambil (konon
kabarnya disimpan di lemari di kamar rumahnya) hakim tetap menjatuhkan vonis
pidana kepada para pelaku.
Perbuatan korupsi adalah satu sisi dan mengembalikan uang yang dicuri adalah
sisi lain. Tidak dapat disatukan. Tindak pidana korupsi telah dilakukan dan
waktu tidak dapat direwind agar dapat mengubah sejarah. Karena itu,
tindak pidana tetap dapat diproses ke pengadilan dan hakim dapat, jika
terbukti, menghukum pelaku. Sedangkan mengembalikan uang adalah perbuatan lain.
Hanya saja perbuatan mengembalikan uang akan menjadi perhatian hakim sebagai
hal yang meringankan.
Proses penyidikan biasanya dapat dihentikan jika :
[1] Tidak terdapat cukup bukti;
[2] Nebis in idem
[3] Daluarsa
[4] Tersangka meninggal dunia
Tetapi, tindak pidana pajak punya kekekhususan. Ada satu yang tidak ditemukan
pada penyidikan tindak pidana umum. Penyidikan pajak dapat dihentikan jika
tersangka melunasi pajak terutang ditambah sanksi empat kali. Ketentuan unik
ini diatur di Pasal 44B UU KUP.
Ingat, besarnya pajak terutang disini berdasarkan perhitungan kantor pajak
semata. Wajib Pajak tidak dapat mengajukan keberatan atas besarnya jumlah pajak
yang terutang, karena untuk negosiasi besarnya pajak terutang ada jalur
tersendiri. Proses negosiasi secara hukum adalah dengan lembaga keberatan,
banding ke Pengadilan Pajak kemudian Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Sedangkan jalur penyidikan pajak tidak melalui lembaga-lembaga tersebut.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan “sekilas pandang” jalur pidana pajak.
Tindak Pidana Pajak
Seorang kepala BPKP [saat itu] yang juga menjadi dosen mata kuliah
Penyidikan Pajak, pernah berkata, “Apakah koreksi fiskal yang dilakukan oleh
pemeriksa pajak tidak membuktikan telah terjadi tindak pidana pajak? ...
Koreksi satu rupiah pun, bagi hukum menunjukkan bahwa SPT Wajib Pajak tidak
benar.” Wah, saya pikir benar juga. SPT Wajib Pajak disebut benar jika tidak
ada lagi perubahan pajak terutang atau besarnya kerugian. Padahal di negeri
ini, hal seperti ini hanya terjadi jika SPT Wajib Pajak telah kadaluarsa 10
tahun tidak diutak-atik oleh kantor pajak. Setahu saya, selama ada surat
ketetapan pajak yang berasal dari pemeriksaan selalu ada koreksi! Kalau begitu,
semua Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan dong?
Coba kita perhatikan apa yang dimaksud tindak pidana pajak menurut UU KUP.
Pasal 38 UU KUP merinci tindakan-tindakan Wajib Pajak yang merupakan tindak
pidana pajak karena kealpaan. Selengkapnya demikian :
“Barang siapa karena kealpaannya :
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”
Menurut kebiasaan sehari-hari, kata “alpa” biasanya sinonim dengan lupa atau
tidak sengaja. Tetapi dalam bidang hukum, terutama pembuktian di pengadilan,
pengertian tersebut sulit diterima. Setiap orang, kapan saja, dapat mengatakan
bahwa ia lupa tidak berbuat sesuatu atau telah berbuat sesuatu. Begitu juga
dengan kata ‘tidak sengaja’ yang lebih kepada niat seseorang. ‘Pepatah leluhur’
mengatakan bahwa dalamnya lautan dapat diselami tetapi dalamnya hati tidak
diketahui. Jadi bagaimana pembuktian sengaja atau tidak sengajanya seorang
tersangka?
Pada pasal berikutnya, Pasal 39 UU KUP, mengatur tindak pidana perpajakan yang
dilakukan dengan sengaja. Dalam bahasa sehari-hari, sengaja adalah kebalikan
dari alpa. Hampir semua orang dapat membedakan mana perbuatan alpa dan mana
perbuatan sengaja. Hanya saja parameternya abstrak. Dan lebih ditentukan oleh
subjektivitas seseorang.
Tetapi dalam hukum, konon, untuk membuktikan sengaja atau alpa diukur dengan
latar belakang pendidikan. Seorang Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak dapat
disangka dengan Pasal 39 UU KUP jika tersangka memiliki latar belakang
pendidikan perpajakan. Orang yang pernah belajar perpajakan tentu mengerti
tentang perpajakan. Pernah belajar perpajakan bukan harus sarjana akuntansi
karena tempat belajar perpajakan bukan hanya jalur formal tetapi juga informal
seperti: kursus brevet dan seminar perpajakan.
Pembaca ITR juga (mungkin) termasuk orang yang dianggap pernah belajar
perpajakan karena ITR adalah salah satu media belajar perpajakan. Karena itulah
pembaca ITR mesti hati-hatilah terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP
berikut!
(1) setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
Nomor Pokok Wajib Pajak, atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau
meminjamkan buku, catatan dan dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat
1(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan.”
Undang-undang tidak pernah menentukan berapa jumlah minimal kerugian negara
yang sebagai syarat untuk dapat dipenjara. Kata-kata “dapat menimbulkan
kerugian pada negara” adalah syarat bagi Wajib Pajak untuk dapat divonis
penjara. Adapun jumlahnya mulai satu rupiah sampai jumlah tak terhingga. Jadi
jika SPT Tahunan seorang Wajib Pajak dikoreksi oleh kantor pajak, maka hal
tersebut telah membuktikan bahwa Wajib Pajak tersebut “menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”. Jadi hati-hatilah
ketika mengisi SPT baik masa maupun tahunan karena dokumen tersebut dapat
menjadi alat bukti yang kuat untuk menyeret anda ke muka pengadilan. Dan
menerima vonis hakim.
Jika kita perhatikan, pidana penjara enam tahun dimulai sejak perubahan pertama
UU KUP tahun 1994. Sebelumnya ancaman penjara hanya tiga tahun dan denda bisa
tidak ditambahkan karena memakai kata “dan / atau”. Tetapi sejak tahun 1994
seorang terpidana otomatis harus bayar denda empat kali (kumulatif)! Konon,
latar belakang perubahan ini karena fiskus ingin menahan para tersangka saat
penyidikan. Berdasarkan KUHAP, seorang tersangka dapat ditahan jika diancam
dengan kurungan penjara minimal lima tahun.
Proses menuju Penyidikan
Seseorang tidak dapat disangka melakukan perbuatan pidana kecuali dengan cukup
bukti atau tertangkap tangan (bukan tertangkap basah). Tertangkap tangan
maksudnya, seseorang yang sedang melakukakan pidana langsung diamankan oleh
petugas. Contohnya : seorang perampok ditangkap oleh polisi ketika sedang
beraksi. Karena tertangkap tangan, perampok tersebut dapat langsung disidik.
Tidak perlu penyelidikan terlebih dahulu.
Dalam bidang perpajakan, mungkin tertangkap tangan tidak dapat dilakukan karena
sulitnya menentukan saat (jam, hari dan tanggal) tindak pidana pajak dilakukan.
Karena itu, penyidikan pajak selalu didahului dengan penyelidikan. Istilah
resmi penyelidikan pajak adalah pemeriksaan bukti permulaan, yaitu pemeriksaan
yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana dibidang perpajakan.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan bukti permulaan sama dengan pemeriksaan
pajak lainnya. Hanya saja hasil pemeriksaan tidak diberitahukan kepada Wajib
Pajak melalui SPHP tetapi laporannya disampaikan langsung ke Direktur
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Ditjen Pajak. Selain itu, jika
dalam pemeriksaan biasa dokumen yang dipinjam harus dikembalikan, sebaliknya
dalam pemeriksaan bukti permulaan dokumen-dokumen yang dipinjam oleh pemeriksa
tidak akan dikembalikan kepada Wajib Pajak tetapi akan ditahan dan disimpan
ditempat yang aman. Dokumen-dokumen dan keterangan lainnya akan dijadikan
barang bukti untuk penyidikan pajak.
Jika dalam pemeriksaan biasa pemeriksa cukup menghitung pajak terutang, dalam
pemeriksaan bukti permulaan pemeriksa juga harus melaporkan :
* Posisi kasus
* Modus operandi
* Uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana dibidang perpajakan
* Rincian macam dan jenis barang bukti yang diperoleh (diamankan)
* Nama dan identitas tersangka dan saksi, serta
* Kesimpulan dan usul pemeriksa.
Ada dua kemungkinan usul pemeriksa. Pertama, pemeriksa mengusulkan agar
dikeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Kesimpulan ini sebenarnya sama saja
dengan pemeriksaan biasa. Tetapi jika memang pemeriksa tidak mendapatkan bukti
yang cukup, usul ini paling masuk akal. Kedua, pemeriksa mengusulkan agar
dilanjutkan dengan penyidikan pajak. Usul mana yang dipilih oleh pemeriksa,
selain ditentukan oleh keadaan objektif dilapangan, juga ditentukan oleh
subjektifitas pemeriksa.
Apapun hasil pemeriksaan bukti permulaan, yang menentukan langkah selanjutnya
adalah Direktur Jenderal Pajak. Jika Pak Dirjen menentukan agar dikeluarkan
SKP, maka pemeriksa kemudian membuatkan nota penghitungan pajak yang akan
dikirim ke KPP terkait. Selanjutnya jika Pak Dirjen menentukan akan dilanjutkan
dengan penyidikan pajak, maka Pak Dirjen akan membuatkan Surat Perintah
Penyidikan Pajak.
Sebelum Surat Perintah Penyidikan Pajak dikeluarkan, pemeriksa diharuskan
membuat Laporan Kejadian. Laporan ini merupakan bagian dari syarat penyidikan
seperti yang dilakukan oleh polisi. Intinya, pelapor (pemeriksa) melaporkan
telah terjadi tindak pidana pajak kepada penyidik. Isi Laporan Kejadian sendiri
mirip dengan laporan pemeriksaan bukti permulaan. Hanya saja, kalau laporan
pemeriksaan bukti permulaan lebih kepada keperluan intern, bawahan melaporkan
hasil kerjanya kepada atasan, maka kalau Laporan Kejadian merupakan laporan
(pelapor dalam hal ini pemeriksa bukti permulaan) kepada penyidik (yang akan
melakukan penyidikan). Laporan Kejadian ini diperlukan untuk bukti perlunya
dilakukan penyidikan oleh penyidik dan salah satu dokumen wajib untuk
pemeriksaan di pengadilan.
Banyak Unsur Subjektifnya
Seandainya Direktorat Jenderal Pajak jarang melakukan penyidikan pajak
bukan berarti aparat pajak mengabaikan dan menolak penegakkan hukum tetapi
karena misi Direktorat Jenderal Pajak adalah mengumpulkan pajak sesuai target
yang ditetapkan undang-undang APBN. Ibarat senjata, maka aparat pajak
sebenarnya telah dipersenjatai oleh undang-undang dengan kewenangan untuk
menyidik dan menyeret para Wajib Pajak yang bandel ke muka pengadilan umum.
Tetapi senjata itu akan dan pasti digunakan sekiranya dianggap diperlukan.
Dimana pun, baik polisi maupun tentara, senjata selalu dipergunakan saat
diperlukan.
Pada prakteknya yang menentukan Wajib Pajak mana yang harus dilakukan
penyidikan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Kewenangan ini tidak
didelegasikan ke eselon dibawahnya seperti pemeriksaan biasa. Walaupun banyak
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) tetapi pada kenyataannya
sangat jarang Karikpa yang melakukan penyidikan dan, memang, kepala Karikpa
tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.
Unsur subjektivitas Pak Dirjen sangat menonjol ketika menentukan apakah seorang
Wajib Pajak akan disidik dan ajukan ke muka pengadilan atau tidak. Jika tidak
disidik berarti untuk Wajib Pajak tersebut akan dikeluarkan surat ketetapan
pajak, kemudian ditagih, disita dan jika perlu dilakukan paksa badan dulu. Jika
masih bandel juga dilelang hartanya. Disisi lain, Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut, jika masih belum puas dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Bahkan mungkin mengajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung.
Tetapi jika Pak Dirjen menentukan bahwa seorang Wajib Pajak harus disidik maka
dibentuklah tim penyidik yang akan memeriksa seorang tersangka. Penyidik
mengumpulkan keterangan-keterangan baik dari para saksi maupun tersangka
sendiri. Semua dokumen yang diperlukan sebagai alat bukti akan disita,
diperiksa dan jika dapat dijadikan sebagai alat bukti maka diajukan ke muka
pengadilan negeri. Selanjutnya, hakimlah yang menentukan apakah seorang
terdakwa (wajib pajak) dapat divonis hukuman penjara atau bebas.
Proses menuju Pengadilan Negeri
Biasanya penyidikan dilakukan oleh penyidik pajak yang telah mendapat
brevet penyidik dari kepolisian. Tetapi jika diperlukan, polisi dapat
mendampingi atau membantu penyidik pajak. Terutama masalah pemberkasan,
penyidik pajak kurang pengalaman karena sedikitnya kasus-kasus pidana pajak
yang diajukan ke pengadilan negeri. Sedangkan bagi polisi, membuat berkas kasus
pidana merupakan pekerjaan sehari-hari. Selain itu, berkas pidana pajak yang
dibuat oleh Ditjen Pajak harus diserahkan ke jaksa penuntut umum melalui
polisi. Tidak dapat langsung diberikan ke Kejaksaan. Jika polisi merasa tidak
lengkap, maka berkas yang berasal dari Ditjen Pajak dapat dikembalikan.
Selama dilakukan penyidikan, Wajib Pajak yang menjadi tersangka wajib
didampingi oleh seorang atau lebih pengacara. Hukum acara kita mewajibkan
seorang tersangka yang diperiksa oleh penyidik wajib didampingi oleh pengacara
resmi walaupun pada saat pemeriksaan pengacara tidak memiliki hak menjawab.
Tugas pengacara hanya mendampingi tetapi tidak memiliki hak menjawab atau
membantu memberi jawaban bagi tersangka.
Jika penyidik pajak merasa bahwa tersangka dikhawatirkan melarikan diri,
penyidik pajak memiliki hak menahan tersangka. Tempat penahanan biasanya di
rumah tahanan digabung dengan para tersangka kejahatan umum. Hal ini karena
Ditjen Pajak tidak memiliki ruang atau rumah tahanan khusus. Jadi dititipkan ke
rumah tahanan negara.
Selama ini, pemeriksaan tindak pidana pajak memakan waktu berbulan-bulan.
Bahkan tidak jarang bertahun-tahun. Jika pemberkasan dianggap lengkap, maka
berkas diserahkan ke Kejaksaan melalui Kepolisian. Berkas akan bolak balik jika
Kepolisian dan Kejaksaan merasa tidak lengkap. Berkas yang tidak lengkap harus
dilengkapi oleh penyidik pajak. Tetapi yang paling menentukan adalah Kejaksaan
karena jaksalah yang akan membuat penuntutan di pengadilan negeri. Jika
Kejaksaan merasa bahwa berkas telah lengkap, maka kasus akan segera diserahkan
ke pengadilan negeri. Dan pengadilan kasus pidana pajak akan segera digelar.
0 komentar:
Posting Komentar